Semarang – 12 April 2025 Balairung Universitas PGRI Semarang menjadi tempat bersatunya kehangatan silaturahmi, pesan kebangsaan, dan renungan spiritual dalam acara Halalbihalal 1446 H PGRI Provinsi Jawa Tengah. Mengusung tema “Menguatkan Silaturahmi, Meneguhkan Harmoni”, salah satu momen yang paling mengesankan datang dari tausiah KH. Supandi dari Semarang.
Dengan gaya khasnya yang jenaka dan penuh makna, KH. Supandi membuka ceramah dengan mengangkat tafsir dari Al-Baqarah ayat 183, tentang panggilan kepada orang-orang yang beriman.
“Kenapa orang beriman dipanggil dari jauh oleh Allah? Karena walaupun Anda beriman, Anda tetap kena dosa. Betul nggak?” ujarnya disambut tawa hadirin.
Idul Fitri: Bukan Justifikasi, Tapi Ajakan Kembali
Ia mengingatkan bahwa dosa membuat kita menjauh dari Allah. Bahkan dalam kisah Nabi Adam, perbedaan jarak dalam redaksi ayat menunjukkan bagaimana dosa membawa jarak antara manusia dan Tuhannya.
“Sebelum melanggar, Allah berkata ‘jangan dekati’. Tapi setelah melanggar, Allah berkata ‘bukankah aku sudah melarang kamu’. Lho, redaksinya sudah berubah. Itu artinya jarak sudah menjauh,” jelasnya.
Dosa dan Realita: Dari yang Ringan Hingga yang Tak Terlihat
“Saya bilang, ‘Carikan kiai yang sudah katarak. Kalau saya, masih waras matanya’,” kelakarnya disambut gelak tawa.
Namun di balik humor tersebut, beliau menekankan pentingnya menjaga diri dari dosa, termasuk dosa mata, tangan, dan hati. “Zina itu bukan hanya soal fisik, tapi juga bisa melalui pandangan, ucapan, dan pikiran,” katanya.
Tentang Pelit dan Syukur
Kritiknya terhadap sifat pelit juga disampaikan dengan analogi yang cerdas. “Saya punya teman, medité pol. Duit ilang seribu, yang ditangisi ya seribu, padahal tinggal seratus. Orang pelit itu nggak akan bisa kaya. Kaya itu karena memberi,” ujarnya sembari menjelaskan bahwa syukur dalam budaya Indonesia bahkan diucapkan sebagai "terima kasih" yang menunjukkan keseimbangan antara memberi dan menerima.
Ghibah dan Dosa Perempuan-Lelaki
KH. Supandi juga berbicara tentang kecenderungan dosa antara laki-laki dan perempuan. “Perempuan itu berat menjaga lisan, laki-laki berat menjaga pandangan. Itu kodrat. Tapi bukan alasan untuk dibiarkan,” katanya.
Dengan gaya santai, ia juga berbagi kisah lucu tentang istrinya yang mantan guru SD. “Masak keasinan, jawabnya: ‘Padahal uyahnya cuma sedikit’. Tapi pas anyep, jawabnya: ‘Wis tak uyahi akeh’. Lah ini kok bingungin orang waras,” kisahnya, membuat para guru yang hadir tertawa terbahak.
Memaafkan dengan Bahasa Sendiri
Di bagian akhir, KH. Supandi mengingatkan bahwa ucapan minal aidin wal faizin sebenarnya adalah seruan pasca perang Badar, bukan ucapan maaf formal. “Yang lebih penting, ya salaman saja sambil bilang: 'Nyuwun pangapunten saking sedoyo kelepatan'. Itu lebih menyentuh daripada formalitas,” tuturnya.
Ia menutup ceramah dengan doa bersama dan mengajak hadirin untuk terus menjaga silaturahmi, menjalankan nilai agama dengan semangat ringan namun bermakna.
“Saya pensiun, istri saya pensiun. Sekarang ceramah terus, ke mana-mana saya ajak istri. Kalau ingin terus cinta pada istri, pandangi dia dari jauh. Lha kenapa tetangga tampak lebih cantik? Soale sampeyan ngliriké kadohan, bojo kok cedhak terus,” tutupnya disambut tepuk tangan dan gelak tawa penuh kehangatan.
0 Komentar