Eksklusif, Unifah Rosyidi: Perlu Skala Prioritas dalam Pendidikan, Bukan Hanya Perubahan Kurikulum dan Kebijakan
Pergantian kementerian biasanya diikuti dengan pergantian kurikulum dan kebijakan. Kalau hal ini terjadi yang repot guru dan murid. Padahal kata Ketua Umum Pengurus Pesar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd., yang menjadi prioritas saat ini bukan perubahan kurikulum atau kebijakan, tetapi bagaimana infrastruktur dan sarana pendidikan itu ditingkatkan dan merata, agar kualitas pendidikan bisa lebih baik.
***
Pandemi COVID-19 yang sudah dua tahun melanda Indonesia dan dunia membuat banyak perubahan di berbagai bidang, termasuk pendidikan. Pembelajaran tatap muka (PTM) berubah menjadi pembelajaran jarak jauh (PJJ). PJJ memang banyak kekurangan dibandingkan dengan PTM, namun keadaan ini harus dilakukan. Persoalannya dengan wilayah Indonesia yang terdiri dari banyak pulau, serta belum meratanya infrastruktur terutama jaringan internet, membuat PJJ menjadi kendala sendiri.
Karena itulah Unifah Rosyidi, yang juga guru besar di Universitas Negeri Jakarta mengkritik kebijakan yang kerap terjadi saat terjadi pergantian menteri, dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
“Saat ini yang mendesak bukan ganti kurikulum, tapi bagaimana kita semua menyadari bahwa Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau itu disambungkan oleh internet yang murah dan merata buat anak-anak kita. Kita harus fokus pada pembangunan infrastruktur jaringan internet. Kalau perlu internet gratis saat jam belajar,” tandasnya.
Lalu soal kesejahteraan guru menurut Unifah, saat ini masih sangat memprihatinkan. Pangkal masalahnya belum ada niat baik pemerintah untuk menuntaskan persoalan ini. Sertifikasi dulu dianggap menjadi salah satu solusi bagi kesejahteraan guru. Namun pada praktiknya kini peraturan yang digunakan untuk meraihnya semakin sulit. Sertifikasi guru yang tadinya bisa menjadi salah satu jalan menuju kesejahteraan, sekarang kian jauh dari harapan.
Tantangan menjadi guru di era sekarang memang tidak ringan. Harapan publik masih menginginkan guru berperan lebih, namun di sisi lain kesejahteraan guru masih memprihatinkan. Apa saja persoalan yang dihadapi guru dan pendidikan kita terutama di masa pandemi COVID-19 ini? Kepada Iqbal Irsyad, Edy Suherli, Savic Rabos dan Rifai dari VOI, Unifah Rosyidi berbagi ide saat disambangi di kantor PB PGRI, Tanah Abang, Jakarta Pusat belum lama berselang. Inilah petikan selengkapnya.
Pandemi COVID-19 sudah dua tahun, seperti apa Anda mengamati dampaknya pada pendidikan kita?
Sebenarnya pandemi COVID-19 yang sudah dua tahun ini dampaknya bukan hanya dirasakan oleh Indonesia tapi berbagai negara di dunia. Dampaknya dalam dunia Pendidikan luar biasa. Riset yang disampaikan oleh UNESCO, Bank Dunia dan Kementerian Pendidikan serta oleh kami sendiri (PGRI), yang paling terasa adalah learning lost (kehilangan belajar). Dampaknya pada persoalan sosial, emosional anak-anak kita karena tak bisa berinteraksi dengan teman-temannya. Keadaan ekonomi juga menurun, terjadi pernikahan dini, dan yang paling terasa adalan terjadi kesenjangan literasi pencapaian hasil belajar karena anak-anak di daerah itu tidak memiliki akses yang luas sebagaimana anak-anak yang di perkotaan. Mereka tidak punya gadget dan daya beli kuota internetnya amat rendah.
Selama ini tarik ulur apakah proses pembelajaran dilakukan daring atau luring masih menjadi tema yang menarik, buat Anda sebagai pendidik bagaimana memberi pengertian kepada anggota PGRI?
Guru dalam hal ini sudah relatif dewasa mengadapi keadaan. Keselamatan semua menjadi perhatian utama. Karena itu pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan belajar di rumah saat PPKM levelnya tinggi adalah pilihan yang paling realistis. Persoalannya bagaimana kita menyiapkan PJJ yang berkualitas sebagai cara untuk meminimalisir dampak pandemi.
Persoalannya seperti yang Anda katakan tadi tak semua sama antara daerah dan kota, apalagi Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke ini kondisinya amat beragam?
Karena itu saya ingin mengatakan bahwa saat ini yang mendesak bukan ganti kurikulum, tapi bagaimana kita semua menyadari bahwa Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau itu disambungkan oleh internet yang murah dan merata buat anak-anak kita. Saya menyebutnya kita harus fokus pada pembangunan infrastruktur jaringan, internet backbone. Kalau perlu internet gratis saat jam belajar.
Bagaimana caranya?
Pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi saya pikir tahu apa yang harus dilakukan. Infrastruktur jariangan, kualitas pembelajaran dan bahan ajar sangat penting, bagaimana pelatihan untuk guru dalam menggunakan platform pembelajaran itu yang harus menjadi fokus. Karena itu PGRI sebagai mitra pemerintah pemerintah baik di pusat maupun daerah selalu mengingatkan, fokus kita bukan perubahan undang-undang. Fokus kita bukan kepada perbaikan atau ganti kurikulum, tetapi bagaimana mengatasi situasi akibat pandemi, yang kemungkinan akan menjadi sebuah solusi jangka panjang.
Pembelajaran tatap muka itu memang tak bisa dikalahkan dengan PJJ, bagaimana meminimalisir kekurangannya?
Saya ingin tarik kepada situasi saat ini yang darurat, ya pasti kehilangan banyak. Karena proses pendidikan baru terasa menjadi proses pendidikan, kalau terjadi dialog, saling support, dan mendorong anak-anak untuk bertumbuh. Itu kan yang terasa sangat hilang. Tetapi para ahli pendidikan juga mencoba mencari jalan agar ini bisa diminimalisir, itu sebabnya ada blended. Pada saat-saat tertentu ketika situasi sudah aman, di kelas guru tidak lagi memberikan pelajaran, karena pelajaran sudah bisa dicari anak-anak dengan membaca. Tetapi menyelesaikan persoalan, termasuk persoalan anak, membangkitkan semangat, mendorong tumbuh kembang, mendorong anak-anak supaya asyik belajar. Jadi interaksi itu terjalin.
Kadang-kadang karena kita dibesarkan full di kelas, saat pandemi sekarang merasa kehilangan sekali. Tapi kita harus realistis sekarang. Pada saat kita berinteraksi di kelas itu digunakan untuk menutupi kekurangan PJJ dan membangun kesepahaman, mendorong pertumbuhan anak-anak. Untuk mengapresiasi dan menyelesaikan persoalan dengan gaya anak-anak dengan didampingi guru. Itu sebenarnya yang harus dihidupkan, tapi ini nggak mudah. Perlu perubahan cara mengajar.
Jadi guru itu guru itu perlu dikenalkan cara-cara ini. Itu sebabnya berkali-kali saya mengatakan dalam situasi saat ini baiknya kita fokus pada perbaikan model pembelajaran yang blended, dan akses internet yang sampai kepada anak-anak kita. Jadi bagaimana situasi proses pembelajaran ini berubah, tapi tidak kehilangan makna.
Jadi fokus pada perbaikan infrastruktur dan kwalitas pendidikan?
Ya, ini yang kami utarakan berkali-kali, boleh nggak satu periode kementerian itu tidak tidak tergoda untuk mengubah kurikulum. Kan masih bisa menjadi legacy yang penting karena sedang dalam keadaan krisis. Jadi Kementerian membangun sebuah sistem pendidikan ini ke depan, dimulai ketika dalam keadaan krisis. Tak harus dengan perubahan kurikulum untuk membuat legacy itu.
Selama dua tahun pandemi COVID-19 ini apa evaluasi pelaksanaan pedidikan kita?
Kita mendengar laporan pengurus di berbagai tingkatan dalam satu pertemuan atau kita mengadakan survei kecil-kecilan. Apa yang saya sampaikan itu adalah hasil evaluasi kami. Guru itu rindu dilatih dan diperhatikan, kita memerlukan sebuah inovasi baru dalam pembelajaran. Lalu tata kelola guru yang runyam, guru yang merasa kurang mendapat kesejahteraan, dll. Inilah cara evaluasi yang kami dapatkan dari bawah dan kami bawa ke tingkat pusat untuk mendapat perhatian. Kita perlu memperbaiki model pembelajaran, memperkecil kekurangan (PJJ), agar nanti bisa jalan bareng setelah situasinya sudah normal.
Soal kesejahteraan guru saat ini bukannya sudah membaik?
PGRI itu kan jatuh bangun memperjuangkan undang-undang guru dan dosen yang di dalamnya dijelaskan bahwa guru yang sudah diangkat negeri maupun swasta berhak untuk memperoleh (tunjangan), dengan persyaratan tertentu. Jadi itu disebutkan dalam waktu 10 tahun harus sudah selesai sertifikasi guru. Nyatanya dari jumlah guru sekarang, jumlah guru honor lebih banyak dari guru ASN. Di sekolah negeri yang bisa sertifikasi baru 50 persen. Jadi ini juga persoalan, yang sudah mendapatkan itu tidak semua guru. Bahkan 50 persen lebih sedikit. Ini kan persoalan dan menimbulkan segregasi (pengucilan). Jadi ada yang merasa dianaktirikan. Itu sudah berlangsung dari tahun 2006. Sampai saat ini masih sekitar 48 persen guru yang belum disertifikasi dan ini semakin sulit untuk memperolehnya. Jadi secara keseluruhan untuk kesejahteraan guru itu amat sangat memprihatinkan.
Kendalanya apa kok sampai begitu?
Kendalanya komitmen Pemerintah, dalam hal ini kementerian pada penyelesaian sertifikasi guru mengikuti undang-undang. Kalau dulu kita tahu bahwa pemerintah akan menyelesaikan dengan skema 200.000, sekira 5 tahun selesai. Nah sekarang sekitar 1,5 jt lagi guru yang belum sertifikasi yang jatahnya Rp20.000. Jadi kira-kira kalau satu juta itu sekitar 20 tahun lagi belum selesai.
Sertifikasi itu baru satu bagian, yang lainnya adalah pelatihan dan kesempatan yang luas bagi teman-teman yang nyatanya ini nggak dan dibiarkan saja. Guru honorer bertumbuh tanpa perlindungan, ini yang membuat tata kelola guru itu sangat semrawut. Apalagi pembagian kewenangan yang berbeda, ini yang membuat profesi guru sama sekali tidak menarik saat ini.
Di lapangan guru fokusnya pada mengejar sertifikasi itu?
Oh ya, karena itu adalah kesempatan kalau orang di gaji Rp2juta dan punya anak rata-rata PNS, kalau non PNS Rp500.000. Kalau Anda punya anak yang kuliah, kira-kira cukup engga ya? Dan guru nggak bisa menyambi pada kegiatan lain, seperti jadi pembicara dan lain sebagainya. Jam kerjanya sudah diatur. Dan kalau dia dapat tunjangan profesi, itu seluruh waktunya untuk mengajar.
Dan ada satu hal lagi, mereka tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan diri dalam format pelatihan. Jadi sekarang profesi guru itu Anda sangat memprihatinkan, bagaimana sulitnya mendapatkan kesempatan sertifikasi Rp20.000, kalau dulu Rp200.000. Dan sekarang itu sistemnya berubah-ubah dan itu sangat sulit dijangkau oleh guru. Sertifikasi guru tadinya itu jalan untuk menuju kesejahteraan, sekarang masih jauh dari harapan.
Menjadi guru bukan lagi pilihan profesi utama, setelah tak terima di profesi lain akhirnya menjadi guru, kalau begini bagaimana kualitas Pendidikan kita ke depan?
Kita sering membandingkan dengan negara Finlandia yang kecil, penduduknya 56 juta. Kondisinya amat berbeda dengan Indonesia. Di sana yang menjadi guru lilusan 10 besar, gajinya bagus dan mereka sejahtera. Di Indonesia sebaliknya. Apalagi sekarang katanya tidak ada lagi guru untuk jadi ASN. Jadi sekarang guru sebagai profesi yang harus dilindungi undang-undang makin jauh. Jadi makin sulit mencari yang terbaik untuk menjadi guru.
Semuanya itu dari hulu ke hilir bermula dari kebijakan pemerintah, kalau kebijakannya berpihak pada guru dan tidak PHP (pemberi harapan palsu) terus menerus persoalan ini akan selesai.
Di era sekarang apakah guru itu masih seperti istilah lama, digugu dan ditiru?
Saya pikir masih ya namun dengan penyesuaian dengan situasi dan kondisi sekarang. Digugu dan ditiru itu enggak bisa kayak zaman dulu lagi, kita jadi contoh iya, kita hanya bisa bersama memahami persoalan anak didik, kita menyelesaikan bersama itu. Jadi digugu dan ditirunya tetap tetapi dalam konteks yang berbeda.
Bagaimana PGRI mempertahankan anggotanya di tengah persaingan yang ketat saat ini?
Jadi keberadaan PGRI harus selalu relevan dengan kebutuhan para guru. Kita harus mau bertransformasi. Jadi kultur itu menjadi sangat penting karena itu kami harus jadi contoh bahwa bagaimana kita memiliki program-program yang sesuai dengan kebutuhan. Program terbaru kita didukung oleh 6 negara, kawan-kawan kami di internasional itu adalah lingkar belajar guru. Kami juga memberikan pelatihan kepada para guru untuk menyampaikan misi perjuangan organisasi kepada Lurah, Camat dan pemimpin daerah lainnya. Kami ajarkan public speaking yang baik. Dan masih banyak lagi cara lain yang bisa menarik para guru.
Sekarang media sosial begitu ramai, bagaimana guru harus mensikapi hal ini?
Guru harus beradaptasi dengan perkembangan ilmu dan teknologi, termasuk perkembangan media sosial yang begitu pesat. Anak-anak dan hampir semua orang sudah familiar sekali dengan medsos ini. Kalau harus melarang sudah tidak bisa. Sekarang bagaimana guru mengoptimalkan medsos ini untuk mendukung proses pembelajaran yang dilakukan. Guru bisa mengarahkan siswa untuk mencari sumber di medsos dan kemudian didiskusikan di kelas. Jadi medsos itu harus dimanfaatkan semaksimal mungkin sembari meminimalisir dampak negatif dari medsos. Soalnya sekarang ini jarimu adalah harimaumu, kalau dulu mulutmu hariamaumu. Jadi harus bijak menggunakan medsos.
Ini Kisah Profesor Unifah Rosyidi yang Bersahabat dengan Kucing Liar
Meski sibuk sebagai dosen dan juga Ketua Umum PB PGRI, Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd., tak pernah alpa menyambangi sahabat-sahabatnya setiap pagi. Rutinitasnya selepas salat subuh itu memberi makan kucing-kucing liar di jalan di wilayah Kabupaten Tangerang. Tak hanya itu, dia juga akan mengevakuasi saat ada kucing yang sakit ke klinik hewan terdekat.
“Setiap pagi hampir nggak ada off-nya kecuali saat saya pergi ke luar kota, rutinitas saya mengasih makan kucing di sepanjang jalanan di Kawasan Tangerang. Sambil jalan sekitar 7 sampai 9 kilo saya akan bertemu dengan sahabat-sahabat saya, ratusan kucing liar di jalanan yang menunggu,” katanya.
Ketika ada kucing yang butuh bantuan lebih, Uni –begitu dia biasa disapa— juga akan bertindak.
“Ada juga yang bermasalah, mereka yang disiram air (panas) atau yang luka ditabrak kendaraan. Biasanya saya bawa ke klinik. Mereka juga berhak untuk mendapatkan tempat yang terhormat. Mereka juga berhak untuk sembuh,” tandasnya.
Namun Uni, enggan mengungkap berapa besar biaya yang dia keluarkan untuk memberi makan kucing liar dan megobatinya kalau sakit.
“Malu ah, yang jelas lumayan besar. Tapi saya tak mau takkabur dengan menyebutkan jumlah detilnya. Biarlah saya dan Tuhan saja yang tahu,” elaknya.
Dia yakin benar kalau rezeki yang didapatkannya selama ini bukan hanya untuk dirinya dan keluarga. Ada juga untuk orang lain tak berdaya, kucing liar yang disambanginya setiap pagi dan lain sebagainya. Dan dia juga yakin apa yang diberikannya untuk kucing liar akan bermanfaat dan mendapat ganti yang lebih banyak dari Yang Maha Kuasa.
Karena sudah amat cinta dengan kucing-kucing liar yang disebutnya sahabat itu. Uni rindu saat dia tak bisa melakoni rutinitas memberi makan kucing.
“Kalau sehari nggak beri makan kucing, ada rasa kehilangan gitu,” aku perempuan kelahiran Cirebon, 5 April 1962 ini.
Setidaknya ada dua hal yang didapat Uni saat memberi makan kucing liar. Pertama ia memenuhi kebutuhan batinnya, memenuhi kerinduan bertemu sahabat-sahabatnya di jalan. Kedua dia sekalian berolah raga dengan seribu langkah. Selain itu ia juga meminum vitamin dan suplemen lainnya untuk menambah imun tubuh.
Untuk urusan makan dia sudah mulai mengurangi asupan karbohidrat seperti nasi. Namun diakuinya dia masih susah sekali menghilangkan kebiasaan mengemil.
“Habis gimana, tapi saya terus berusaha agar badan saya sehat. Tidak terlalu gemuk dan tidak juga terlalu kurus,” kata peraih gelar Doktor Ilmu Administrasi Publik Politik dan Sosial, Fakultas Sains Universitas Indonesia (2007).
Curhat
Setelah menjabat sebagai Ketua Umum PB PGRI, ia banyak hubungi guru-guru seantero Indonesia untuk curhat.
“Saya banyak sekali dihubungi guru-guru se-Indonesia untuk curhat beragam persoalan. Saking banyaknya yang curhat kadang-kadang saat membalas mengetiknya sampai salah. Tidak imbang antara kecepatan berpikir dengan motorik. Kalau sudah riweh banget saya pakai fasilitas voice note,” ungkapnya.
Sebagai dosen membaca adalah kewajiban yang dilakukanya setiap hari. Minimal dua jam dalam sehari ia membaca, mencari informasi baik untuk kebutuhannya dalam mengajar, memberi seminar, memberikan pidato dan kegiatan lainnya yang membutuhkan referensi.
Di tengah kesibukannya dengan kegiatan akademik di kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dan juga sebagai orang nomor satu di PGRI, dia masih berusaha membagi perhatian dengan kedua anaknya yang sudah berumatangga dan cucu-cucunya.
“Sesibuk apa pun saya sempatkan untuk komunikasi dengan anak-anak dan cucu, sekarang kan enak bisa video call. Lumayan bisa melepas rindu saat belum bisa bertemu secara langsung,” kata ibu dari dr. Harry Mahthir Akip, Sp. JP yang menikah dengan Sanidya Prabaswara, S. Psi, M. Psi., dan dr. Sarah Dyaanggari Akip yang dipersunting oleh dr. Hakim Alhaady Juhana.
Menurut Uni, pikiran yang sehat juga penting untuk mendukung tubuh yang sehat. Bagi dia keduanya sama pentingnya. “Ternyata ketika kita berpikiran sehat akan mendukung tubuh yang sehat. Keduanya sama-sama penting, tidak bisa mengabaikan yang satu dan menomorksatukan yang lain,” ujar Uni yang amat bersyukur sampai saat ini belum terpapar COVID-19. Soalnya dia amat ketat dengan protokol kesehatan dalam kehidupan sehari-hari.
Mendengarkan musik dan juga menyanyi juga dilakoninya. “Pokoknya apa yang membuat hati saya senang lakukan saja, ya kan? Seperti mendengarkan musik dan bernyanyi. Itu yang coba saya lakukan di tengah-tengah pandemi ini di luar aktivitas rutin yang sudah terjadwal. Ingat banyak orang yang stres menghadapi pandemi,” kata nenek yang masih terlihat muda ini.
Menurut Uni, dialog orang tua dengan anak-anaknya mutlak diperlukan. Beragam bersoalan bisa dipecahkan saat bisa berkomunikasi intens dan akrab dengan anak-anak.
“Membangun pengertian itu bukan sesuatu yang mudah dan perlu waktu, tapi jika kita bisa menggunakan semaksimal mungkin quality time untuk berdialog dengan anak-anak dan mendengar apa keluhan anak-anak, akan sangat efektif untuk menyelesaikan masalah yang ada,” ujarnya, sembari mencontohkan saat makan bersama adalah momen yang amat bagus.
Ia mengkritik orang tua yang tak mengerti waktu yang pas untuk berbicara kepada anak-anak.
“Sebenarnya membangun relasi bukan saja relasi yang menyehatkan tapi menumbuhkan kepercayaan. Kalau kita mau ngomong yang didengar anak-anak, kita harus mengerti kapan waktunya yang tepat dan sesuai dengan cara mereka. Artinya kita sebagai orang tua itu harus selalu belajar,” lanjut Uni yang menuntaskan S1 Psikologi Pendidikan dan Konseling IKIP Bandung (1986) dan Magister Administrasi Pendidikan dari IKIP Bandung, (1993).
“Saya juga suka minta maaf sama anak-anak saya, karena ternyata yang suka melanggar janji bertemu,” kata Uni yang tidak merasa sungkan untuk meminta maaf dan menjelaskan kepada anak dan cucunya apa yang membuat dia tak bisa memenuhi janji bertemu. Setelah semuanya jelas, akan menjadikan kedua pihak saling memahami.
Sekolah dan rumah, kata Uni harus menjadi tempat yang kondusif untuk tumbuh-kembang anak. “Saya berharap sekali sekolah dan rumah itu menjadi tempat yang nyaman dan sehat bagi pertumbuhan batin anak-anak,” harap dosen yang kerap menjadi pembicara di forum seminar nasional dan internasional ini.
Satu lagi lagi yang menjadi keprihatinan Uni, anak-anak dan remaja sekarang tidak sedikit yang terjebak pada narkoba.
“Jangan coba-coba dekati itu (narkoba). Jangan coba-coba karena saat sudah ketagihan susah sekali menghentikannya,” tandasnya.
Kalau ragu, jangan sungkan untuk bicara dengan orang tua, dan guru-guru di sekolah. “Mereka itu adalah tempat untuk berkonsultasi yang paling baik. Soalnya tak ada orang tua dan guru yang akan menjerumuskan anak-anaknya. Selain itu memilih teman yang tepat juga menentukan. Soalnya dalam sebuah riset itu teman sebaya atau teman pergaulan itu mempunyai pengaruh yang luar biasa,” tandas Unifah Rosyidi menuntaskan perbincangannya.
“Saat ini yang mendesak bukan ganti kurikulum, tapi bagaimana kita semua menyadari bahwa Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau itu disambungkan oleh internet yang murah dan merata buat anak-anak kita. Kita harus fokus pada pembangunan infrastruktur jaringan, internet backbone,” Prof. Unifah Rosyidi
Sumber : VOI
0 Komentar